Sabtu, 02 Oktober 2010

Maha yang lupa ke Maha-annya

Mahasiswa yang tidak Maha

Mahasiswa Makassar
Bakar Dua Fakultas
Sabtu, 19 Juni 2010 20:05 WIB | Peristiwa | Hukum/Kriminal | Dibaca 82 kali

Begitulah bunyi judul sebuah artikel Hukum-Kriminal di salah satu portal berita nasional. Berita tentang mahasiswa Makassar tawuran, bentrok, ricuh , dsb, rasanya sudah tidak asing lagi di telinga saya. Dua minggu lalu juga seperti itu, atau belum cukup sebulan lalu lah, ketika saya ke kampus terjadi juga tawuran antar mahasiswa. Setiap mendengar, melihat, membaca seperti ini rasanya miris sekali, Apa sih yang mereka lakukan? ada apa? Dan apa alasannya?

Saya mengingat beberapa tahun lalu, saat di kampus saya terjadi tawuran cukup gede (lebih dari sehari tawurannya), saya menanyakan ke seorang super senior di kampus saya -yang cukup lama tak bersua, tapi karena ada “perhelatan” akhirnya bertemu, percakapan singkat saya dengannya seperti ini.

"Bang, kenapa tawuran bang? malu kita sama orang luar",
"tak masalah dik, ini memang pesta tiap tahun".
Jujur saja, Jengkel saya dibuatnya mendengar statement seperti itu, saya kembali menimpali jawabannya " Iya bang, Hanya saja kasian, kita ini Mahasiswa, maluuuuuuu dong! Status kita kan ada “Maha”-nya di depan, kita ini salah satu kaum intelek bangsa, masa pake otot sih?".
"Dik, ini hanya bercanda, ini olahraga. kau santailah. nanti juga kalo si fakultas A ketemu sama Fakultas B di luar paling minum kopi bareng".
Demikian jawabnya lagi, pernyataan yang tidak lebih “intelek” dibanding pernyataan pertama. Weleh weleh, saya makin bingung dibuatnya, karena seingat saya si super senior ini dulunya adalah salah satu aktivis mahasiswa yang vokal, termasuk dalam menyuarakan sikap anti-kekerasan.

Masih ada kejadian unik bin aneh lain, beberapa minggu lalu ada junior saya di kampus yg pulang dari tawuran dan nongkrong di mace (kantin kampus), saya pun langsung bertanya untuk basa-basi" dari mana dek?"."Dari pesta rakyat kak" jawabnya spontan dengan ekspresi bangga. Ck ck ck ck, entahlah apa yang akan saya ucapkan lagi, kalo jawaban dari teman-teman mahasiswa di kampus seperti ini. Oh ya waktu itu saya juga sempat membawa anak saya ke kampus saat tawuran (hebatnya di kampus itu kalo tawuran lokasinya di situ-situ aja, jarang pindah). si Gladish (nama anak saya) bertanya " Bunda, semua orang di kampus ga bersodara ya?", Saya lantas bertanya balik "hmm kenapa, kamu tanya begitu sayang?" "soalnya di sekolahku kita semua bersaudara, jadi tidak boleh ada yang bertengkar apalagi berkelahi" jawabnya polos. Sempat terdiam sejenak mendengar jawaban polosnya, saya pun menjawab dengan sedikit nada bercanda "Sayaaang, di kampus memang ada yang tidak bersaudara dan suka bertengkar, tapi lebih banyak yang bersaudara, tuh lihat masih banyak orang yang tidak ikut tawuran (sambil mennujuk orang di sekitaran saya yang duduk santai menikmati kopi)". Seperti itulah pertanyaan anak saya, di umur tujuh tahun rasanya dia lebih mengerti apa itu perdamaian dibanding para kaum intelek yang gemar memutus tali persaudaraan itu.

Well, saya tidak tau lagi apa yang akan saya katakan di tulisan ini, saya rasanya ingin ngasih tau ke oknum mahasiswa-mahasiswa itu , “Teman-teman, lakukanlah hal-hal yang mulia, cukup sudah berdemo dengan cara “klasik” yang sudah terbukti tidak efektif, carilah sesuatu yang lebih berguna!!! Kalian tawuran, sedangkan orang yang kalian sayangi was-was mengingat kalian di kampus, kalian asik berdemo mengatasnamakan masyarakat hingga ricuh, tapi kalian menyusahkan masyarakat yang kalian bela dengan membakar ban, apalagi kalau sampai membuat lalu lintas macet. Kalian menghancurkan mobil berplat merah, sedangkan kalian tidak berpikir kalo mobil itu dibeli dari pajak yang masyarakat bayar (syukur kalau pajak, kalau dari utang luar negeri, gimana?)”

Kami masyarakat tidak mempermasalahkan bila kalian melakukan demo, kami juga senang kok di bela, tapi kalau kalian membela dengan cara seperti itu kami tidak suka. Jalanan macet, kendaraan masyarakat jadi korban, fasilitas umum rusak, sampai ayam pun kalian jadikan kambing hitam (tribute to para pelaku pengrusakan salah satu restoran siap saji di Makassar, beberapa waktu lalu)

Kalian tau tidak, waktu saya kerja di salah satu radio berita di kota J, saya selalu di tanya “Key, Makassar kalau naikin berita pasti berita ricuh”. Sindiran itu tentunya hanya bisa membuat saya tersenyum kecut karena malu. Kalian bisa bayangkan bagaimana stereotipe orang di luar sana tentang Makassar? padahal sebenarnya kita baik-baik saja kok. Masih banyak di antara kita yang berprestasi, lihat gerakan EarthCare untuk melakukan kampanye kelestarian hutan kota, atau Pak Oni Gappa yang menanam pohon untuk menghijaukan Makassar Tanpa pamrih, atau lihatlah, kita punya Aan Mansyur sang penulis, Dian, Iru, Romi dari Holywood Nobody dan sederet tokoh inspiratif yang tidak bisa saya tuliskan satu-persatu di sini.

Rasanya tidak pantas bagi kita lagi untuk dikenal, karena berbagai aksi kekerasan yang pasti sangat di sukai oleh media(Badnews is a good news, isn't it?). Ayolah kawan hentikan tawuran, dengan masalah sepelik apapun. Kalian mahasiswa jangan mudah terprovokasi, Kalian adalah agen kontrol sosial, kalian adalah pembela masyarakat, kalian penerus bangsa yang akan melanjutkan perjuangan bangsa. Jadi Berhentilah berlaku seperti orang yang berotot tapi seperti tak ber-otak!!!!!!!! Karena kami masih sangat berharap banyak dari fungsi-fungsimu, bagaimana cara kalian merubah bangsa, jika merubah diri saja belum bisa.

P.S. Maaf kawan mahasiswa, saya tidak bermaksud menggurui ini. Ini hanyalah sebuah bentuk keresahan saya pribadi dan mungkin saja keresahan beberapa kawan di luar sana.